Menapaki Setiap Jengkal Keindahan Kampung Wae Rebo yang Eksotis
13 January 2018Hampir di setiap sudut negeri ini terdapat tempat-tempat yang menjanjikan keindahan di balik namanya yang belum santer terdengar. Salah satunya adalah Kampung Adat Wae Rebo di pedalaman eksotis Pulau Flores, provinsi Nusa Tenggara Timur. Yang menarik, sebelum dikenal oleh warga Indonesia sendiri, kampung adat ini sudah lebih dulu jadi primadona bagi turis-turis asing.
Wae Rebo terletak di Kabupaten Manggarai, tepatnya di Kecamatan Satarmese Barat. Gunung-gunung megah yang mengelilinginya membuat kampung ini terisolasi. Secara geografis, Wae Rebo terletak di atas ketinggian 1.200 mdpl. Diselimuti oleh kabut tipis di seluruh perkampungan, membuat Wae Rebo pantas mendapatkan julukan ‘kampung diatas awan’.
Desa yang konon katanya nenek moyangnya berasal dari suku Minangkabau ini cukup jauh dari ibukota Kabupaten Manggarai. Biasanya para traveler yang menggunakan transportasi udara, akan mendarat di Labuhan Bajo lalu melanjutkan perjalanan ke Ruteng dengan menggunakan minibus.
Setelah sampai di Ruteng, perjalanan dilanjutkan kembali dengan sepeda motor atau ke desa terakhir yang dapat dilalui kendaraan sebelum Desa Wae Rebo, Desa Denge. Perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki di jalanan tanah sejauh kurang lebih 9 kilometer, yang menghabiskan waktu sekitar 2 sampai 4 jam, tergantung kondisi fisik.
Jalur terberat adalah jalur yang menhubungkan Denge dengan Wae Lumba. Jalur ini berkarakter bebatuan, yang kadang menanjak, dan kadang licin, apalagi setelah hujan turun. Pengunjung juga harus menyeberangi sungai kecil dulu sebelum tiba di Wae Lumba.
Setelah dari wae Lumba, perjalanan dilanjutkan ke Poco Roko. Di sini Anda akan menyusuri jalur yang berada di tepi jurang. Poco Roko sendiri salah titik tertinggi dan biasanya di sini digunakan masyarakat untuk mencari sinyal telepon. Jadi, di sinilah para wisatawan akan terakhir kali mampu menggunakan layanan teleponnya, karena setelah melanjutkan perjalanan lagi, sinyal akan hilang.
Setelah melewati Poco Roko, sampailah di Ponto Nao. Di desa ini ada sebuah pos pemantauan yang beratap ijuk. Dari sini, akan mulai tampak Desa Wae Rebo yang berselimut kabut lengkap dengan bangunan kerucut yang mengepulkan asap. Setelah melewati jalur menurun penuh dengan tanaman kopi, sampailah di Desa Wae Rebo.
Selangkah demi selangkah, tujuh rumah kerucut khas Wae Rebo tertangkap mata. Inilah ikon dari Wae Rebo, Rumah adat khas Manggarai yang bernama Rumah Mbaru Niang. Dalam bahasa Manggarai, Mbaru Niang berarti ‘rumah drum’.
Para leluhur mewariskan tujuh bangunan itu yang kemudian dijaga oleh masyarakat adat secara turun-temurun hingga kini sudah generasi ke-20. Tujuh bangunan Mbaru Niang konon merupakan cerminan kepercayaan leluhur untuk menghormati tujuh arah puncak gunung di sekeliling Kampung Wae Rebo, yang dipercaya sebagai pelindung kemakmuran kampung.
Bangunan berbentuk kerucut ini dibangun secara tradisional. Atap besar terbuat dari ijuk yang hampir menyentuh tanah, mirip dengan honai di Papua, didukung dengan sebuah tiang kayu pusat. Di dalamnya terdapat perapian yang terletak di tengah rumah. Disebut rumah drum karena salah satu rumah digunakan untuk menyimpan drum pusaka suci dan gong yang merupakan media sakral klan untuk berkomunikasi dengan nenek moyang.
Bentuk bangunan Mbaru Niang yang berbentuk kerucut, melingkar dan berpusat di tengah diyakini melambangkan persaudaraan yang tidak pernah putus di Wae Rebo dengan leluhur mereka sebagai titik pusatnya. Pada kenyataannya memang warga Wae Rebo tidak melupakan leluhurnya seperti yang tertuang dalam ungkapan “neka hemong kuni agu kalo” yang bermakna “Jangan lupakan tanah kelahiran”.
Struktur Mbaru Niang cukup tinggi, sekira 15 meter. Di dalamnya memiliki lima tingkat yang terbuat dari kayu worok dan bambu yang menggunakan rotan untuk mengikat konstruksi sebagai ganti paku. Mbaru Niang merupakan bangunan komunal, yang artinya satu rumah bisa ditempati enam sampai delapan keluarga dalam satu atap besar.
Masing-masing tingkat memiliki nama dan fungsinya masing-masing. Tingkat pertama (lutur), berfungsi sebagai tempat tinggal dan berkumpul dengan keluarga. Tingkat kedua (lobo), sebuah loteng yang berfungsi menyimpan bahan makanan dan barang-barang keperluan sehari-hari.
Tingkat ketiga (lentar), berfungsi untuk menyimpan benih-benih tanaman pangan, seperti jagung, padi dan kacang-kacangan. Tingkat keempat (lempa rae), merupakan tempat yang disediakan untuk menyimpan stok pangan jika terjadi kekeringan. Tingkat terakhir (hekang kode) berfungsi untuk menyimpan langkar, sebuah anyaman bambu berberntuk persegi untuk menyimpan sesajian yang akan digunakan untuk persembahan kepada leluhur.
Semua tingkat dan fungsinya masih ada dalam setiap Mbaru Niang dan terus dipertahankan hingga saat ini. Jika ada Mbaru Niang yang rusak dan butuh perbaikan, renovasi tradisional juga masih dikerjakan oleh masyarakat Wae Rebo dalam semangat gotong royong.
Konsistensi inilah yang kemudian membuat UNESCO memberikan penghargaan Award of Excellence pada acara UNESCO Asia-Pacific Awards for Cultural Heritage Conservation 2012 di Bangkok. Penghargaan ini diberikan kepada proyek-proyek konservasi dalam sepuluh tahun terakhir untuk bangunan yang telah berumur lebih dari lima puluh tahun. Mbaru Niang berhasil mengalahkan 42 kendidat lainnya dari 11 negara di Asia Pasifik, antara lain sistem irigasi bersejarah di India, kompleks Zhizhusi di Cina dan Masjid Khilingrong di Pakistan. Dalam keterangan resmi penghargaan UNESCO disebutkan, keunggulan proyek pembangunan kembali Mbaru Niang terletak pada keberhasilannya “mengayomi isu-isu konservasi dalam cakupan yang luas di tataran lokal.”
Selain Mbaru Niang, kearifan lokal di Wae Rebo yang masih tetap lestari adalah ritual Pa’u Wae Lu’u. Upacara sekitar lima menit tersebut digelar di rumah utama yang dinamakan Niang Gendang. Rumah adat yang paling besar itu merupakan tempat tinggal ketua adat.
Ritual ini bertujuan meminta izin dan perlindungan kepada roh leluhur terhadap tamu yang berkunjung dan tinggal di Wae Rebo hingga tamu tersebut meninggalkan kampung ini. Bagi masyarakat Wae Rebo, wisatawan yang datang dianggap sebagai saudara yang sedang pulang kampung. Sebelum selesai ritual ini, para tamu tidak diperkenankan untuk melakukan kegiatan apapun termasuk mengambil foto.
Selama berada di kampung ini, ada beberapa hal yang dianggap tabu sehingga wisatawan harus taat aturan adat. Misalnya harus menggunakan pakaian sopan, karena pakaian yang terbuka akan membuat masyarakat risih. Tentu saja para wisatawan tak akan mencobanya selain karena melanggar aturan adat, juga karena Wae Rebo berudara dingin.
Selain itu, wisatawan dilarang memperlihatkan kemesraan, baik dengan lawan jenis maupun sejenis, bahkan untuk yang sudah berstatus suami istri, seperti berpegangan tangan, berpelukan atau berciuman. Hal lain yang harus dihindari adalah mengumpat atau memaki. Selain itu, jangan lupa untuk melepaskan alas kaki saat memasuki rumah.
Di Wae Rebo, setiap wisatawan juga akan dikenakan biaya administrasi. Tak perlu merasa bahwa keindahan desa mereka dikomersialisasikan, karena uang ini akan dikelola oleh Lembaga Pariwisata Wae Rebo. Uang yang terkumpul akan digunakan untuk keperluan biaya bahan makanan dan proses memasak makanan untuk para wisatawan yang dibuat oleh para ibu- ibu warga Wae Rebo. Selain itu, uang ini akan digunakan untuk pemeliharaan infrastruktur kampung, bahan bakar generator, dan sumber air.
Foto: indonesia.travel
Tags : flores ,wisata budaya ,wisata flores ,wae rebo