Blimbingsari, Desa Kristen Pertama dengan Nuansa Hindu Bali yang Kental
10 January 2018Pulau Bali memang selalu menarik untuk ditelisik. Tak hanya keindahan alam dan budaya kearifan lokal yang menawan, namun toleransi umat beragama pun bisa Anda jumpai di pulau ini. Desa Wisata Blimbingsari merupakan salah satu buktinya. Di sini, Anda tidak hanya bisa menyaksikan kekentalan budaya asli Bali, tapi juga wujud toleransi beragama yang dijalankan oleh masyarakatnya.
Blimbingsari berlokasi di Kecamatan Melaya, Kabupaten Jembrana, atau sekira 25 km ke arah barat pusat kota Negara, Jembrana. Desa ini memiliki luas 420 hektar, dengan jumlah penduduk sekira 1.600 jiwa terbagi atas 280 Kepala Keluarga (KK) dan terdiri dari dua banjar, yakni Banjar Blimbingsari dan Banjar Ambyarsari.
Jika masyarakat pulau Bali identik dengan pemeluk agama Hindu, namun di Desa Blimbingsari, mayoritas penduduknya beragama Kristen Protestan. Desa ini didirikan seorang misionaris Belanda. Dengan beberapa warga Bali yang beragama Kristen, desa ini kemudian dibuat sedemikian bernuansa Kristen. Blimbingsari adalah desa di mana pertama kalinya Injil masuk ke Bali.
Keika masuk ke desa wisata ini, Anda akan merasakan nuansa kebudayaan Bali yang sangat kental. Terdapat sebuah bangunan gereja yang megah di setiap banjarnya. Gereja Pniel di Blimbingsari dan Gereja imanuel di Ambyarsari.
Namun uniknya, arsitektur gereja di desa ini tidak seperti bangunan gereja pada umumnya yang bergaya arsitektur Eropa nan megah. Gereja di Desa Wisata Blimbingsari dibangun menyerupai pura. Oleh karenanya penduduk setempat pada sebelum era 1970-an menyebutnya sebagai “Pura Gereja”. Gereja di desa ini dikenal sebagai gereja tertua dan terunik di Bali.
Ornamen serta ukir-ukiran pada setiap sudut bangunan gereja merupakan ukiran khas Bali. Semua ukiran dibuat oleh oleh tukang ukir dari Ubud. Ceritanya diambil dari cerita injil atau bibel. Salah satu ukiran di tembok gereja bercerita tentang cerita pembasuhan kaki Yesus oleh muridnya. Dalam ukiran, Yesus digambarkan seperti orang Bali.
Jika di gereja pada umumnya, lonceng dipakai untuk memanggil para umat untuk melaksanakan ibadah. Namun berbeda dengan gereja di sini yang menggunakan kulkul yang terbuat dari kayu yang digantung. Oleh karenanya dibuatkan tempat tersendiri bernama Bale Kulkul untuk meletakkan kulkul atau kentongan.
Keunikan lain di Desa Blimbingsari adalah saat ibadah, warga mengenakan pakaian adat Bali, menggunakan bahasa Bali. Bahkan ketika perayaan Natal, Paskah, atau perayaan hari raya lainnya tiba, seluruh masyarakat desa sangat antusias untuk memasang penjor. Penjor adalah hiasan yang umum dibuat oleh masyarakat Hindu Bali menjelang hari raya Galungan.
Natal kemudian disambut dengan penyelenggaraan kebaktian di gereja dimana setiap jemaat gereja mengenakan pakaian adat Bali seperti Udeng, Kamben, Kebaya dan lain sebagainya. Bahkan alat musik yang mengiringi lagu-lagu pujian/Liturgi juga menggunakan gamelan yang mencirikan Budaya Bali. Hal inilah yang menjadi salah satu daya tarik wisatawan untuk melihat dari dekat bagaimana perpaduan kedua budaya itu bisa terjadi.
Selain keunikannya yang mampu memadukan dua kebudayaan, Desa Blimbingsari juga memiliki panorama alam yang indah. Saat menyusuri alam perbukitan desa ini, Anda bisa melihat burung-burung terbang bebas mengamati pohon-pohon tua yang berusia hingga ratusan tahun dan mendengarkan sejarahnya.
Anda juga bisa megisi waktu berlibur dengan belajar bagaimana cara menggunakan gamelan jegog (alat musik tradisional khas Jembraa) atau hanya sekadar beristirahat sambil mendengarkan kelompok seni desa setempat memainkan alat musik daerah.
Kegiatan lainnya adalah mengunjungi rumah penduduk untuk belajar atapun sekadar melihat proses pembuatan gula merah secara tradisional, proses penjemuran kopra dan pemanfaatan sabut kelapa dan juga mengunjungi monumen bersejarah yang ada di Desa Blimbingsari.
Foto: Sijoriimages/Buchan
Tags : banyuwangi ,jawa timur ,blimbingsari ,desa wisata blimbingsari